Kamis, 18 Agustus 2016

Apakah kita akan mengendarai robot raksasa di masa depan ?


Pernah membayangkan diri Anda mengendarai robot untuk bertempur atau bahkan mengangkat barang berat? Mewujudkan perangkat semacam itu dari imajinasi bukan hal mudah.
Selama puluhan tahun, ada benang merah dalam bayangan kita tentang medan pertempuran masa depan: robot raksasa yang dikendarai manusia.
Mesin berukuran sangat besar ini - dikenal dengan nama mech - telah menjadi semacam ciri khas masa depan peperangan.
Robot yang dikendarai manusia pertama kali muncul di serial animasi Jepang, dan tak lama kemudian hijrah ke dunia barat lewat serial televisi seperti Robotech; juga film Hollywood seperti AlienAvatar, dan Pacific Rim. Namun seberapa realistiskah rancangan ini? Akankah kita melihat manusia mengendarai robot yang berjalan dengan dua kaki?
Jordan Weisman dari Harebrained Schemes pertama kali menciptakan video game bertema mech, BattleTech, pada 1980-an. Tak seperti contoh mech sebelumnya, ia melakukan pendekatan yang relatif realistis ketika pertama kali menciptakan "BattleMechs".
Jordan merancang mech dengan rangka besi, dilapisi otot buatan yang dialiri listrik yang akan menggerakkan sendi, lengkap dengan stabilisator giroskopik dan pembangkit daya.
Ide dasar di balik mech Jordan cukup masuk akal. Otot artifisial yang ia bayangkan mirip seperti polimer elektroaktif.


"Buntalan material penghantar listrik ini, yang meregang atau mengerut, tergantung listrik yang dialirkan, ialah otot-otot mech kami," kata Weisman. "Tiga puluh tahun kemudian, bahan yang sama kini digunakan dalam pengembangan tungkai prostetik."
Salah satu alasan bentuk manusia begitu menarik sebagai kendaraan ialah desainnya yang sangat ergonomis.
"Anatomi manusia sangat efisien untuk memanjat batu dan berjalan," jelas Rob Buckingham, direktur Race (Remote Applications in Challenging Environments) di Culham Science Centre.
Namun, ada juga kesulitannya: berjalan dengan dua kaki membutuhkan ketangkasan dan stabilitas, dan hal ini sulit dikendalikan.
Perlu dipikirkan juga, bagaimana cara mengendalikan sesuatu yang tingginya paling sedikit tiga meter?
Profesor Sethu Vijayakumar dari Edinburgh Centre of Robotics menyarankan kombinasi tele-operasi, seperti yang digunakan pada "powerloader" dalam filmAliens, dengan sistem otomatis yang bereaksi terhadap keinginan pilot.
"Akan ada banyak fungsi yang dikendalikan operator; namun kendali tingkat rendah, misalnya menjaga stabilitas saat berjalan, dilakukan secara otomatis," kata Sethu.
Bahkan sebenarnya, mech bipedal yang dikendalikan manusia lebih realistis dari robot yang sepenuhnya otomatis. "Ini teknologi yang sangat mungkin," kata Sethu. "Lebih mungkin dari sistem yang sepenuhnya otonom, karena sistem semacam itu punya banyak masalah dalam hal penginderaan dan pengambilan keputusan berdasarkan konteks."
Bagaimanapun, segala jenis sistem kontrol tele-operasi akan membutuhkan platform komunikasi yang tahan terhadap peretasan dan kehilangan sinyal, serta mampu beroperasi hingga 500.000 kali per detik.
Ada juga persoalan tentang sumber daya mech tersebut. Weisman membayangkan mech Battletech yang ditenagai reaktor fusi, tetapi mengingat reaktor fusi saat ini berukuran sebesar gudang, ini tidak mungkin.
Mech di film Pacific Rim menggunakan reaktor nuklir (fisi) konvensional, yang memberikan daya tinggi, namun tingkat keselamatannya mengkhawatirkan.
"Teknologi baterai masih belum bisa mengejar apa yang secara teoritis mungkin," kata Sethu. "Telah ada penelitian tentang sel bahan bakar, tapi masih di tahap awal."
Bagaimana menyediakan informasi kontekstual dan kesadaran situasional bagi pilot ialah masalah lain. "Kami telah membuat kemajuan dalam kontrol real-time, seperti untuk stabilitas," kata Profesor Sethu. "Masalahnya, dalam percobaan di lapangan, penyimpangan kecil dalam sensor dapat mengacaukan sistem kendali"
Umpan balik getaran - seperti pada joystick game - dapat digunakan menentukan apakah Anda menyentuh sesuatu atau tidak. Namun, memberikan pilot sensasi tambahan, yang menambah konteks kepada pengalaman mech, menimbulkan risiko membebani pilot dengan terlalu banyak informasi.
Sesuai hukum alam, semakin besar suatu benda, semakin berat benda itu. Tekanan yang diberikan pada suatu permukaan ialah gaya dibagi luas permukaan. Bila Anda menggunakan sistem bipedal, seperti pada mech, sebagian besar massa akan terkonsentrasi di dua kaki. Ini menciptakan "efek stiletto", yang mana semua berat terkonsentrasi di luas permukaan yang sangat kecil.
"Seperti seorang wanita seluruh beratnya tertumpu pada pada seperempat inci di bagian belakang sepatu stiletto, sepatu itu akan menembus banyak material," kata Weisman.



Masalah serupa dihadapi pasukan Jerman ketika mengembangkan tank Maus pada Perang Dunia II. Tank seberat 188 ton itu dapat berfungsi dengan baik selama uji coba di permukaan beton bertulang, namun melesak ke tanah pada uji lapangan pertamanya.
Persoalan lainnya ialah bagaimana menjaga stabilitas mech saat berjalan. Stabilisator giroskop memungkinkan mesin, seperti kapal pesiar, menyeimbangkan diri. Akan tetapi, berjalan ialah proses yang tidak stabil. Orang berjalan dengan menyorongkan diri ke depan lalu menumpu tubuh mereka dengan kaki. Dan semakin tinggi suatu benda; semakin sulit membuatnya seimbang.


Pada suatu hari nanti, kita mungkin memiliki rangka robot yang dikendalikan manusia untuk mengangkat muatan berat. Akan tetapi, mech raksasa yang berjalan di antara bangunan kota masa depan akan tetap menjadi impian. "Mesin semacam itu mimpi yang fantastis, namun sebagai kendaraan militer yang praktis, tidak cukup realistis," ujar Weisman.
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini Will we ever pilot giant robots? di BBC Future.

loading...
Tidak ada komentar:
Write komentar